Senin, 31 Oktober 2011

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah


Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif Matematis dan Aktivitas Siswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Oleh:  Asep Darodjat
Dosen tetap Yayasan Islam Nusantara Prodi Pendidikan Matematika
Abstrak
Dalam salah satu tujuan pembelajaran matematika  disebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisional, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba. Hal ini mengisyaratkan bahwa kegiatan pembelajaran matematika tidak hanya dituntut aktif saja tapi juga dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif, karena kreativitas dalam pembelajaran dapat menciptakan situasi yang baru, menarik dan tidak monoton sehingga siswa akan lebih terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Untuk itulah diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas dan kemampuan berpikir kreatif matematika siswa. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) diduga akan mampu meningkatkan aktivitas belajar siswa dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, karena konsep dasar dan karakteristik pembelajaran berbasis masalah diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Kata Kunci : Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL), Aktivitas, Kreativitas.
A. Pendahuluan
            Berdasarkan hasil studi internasional yang dilakukan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS), dilaporkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan berpikir tahap rendah yang bersifat prosedural (Mullis dkk, 2000). Berbagai hasil penelitian cenderung mengemukakan sampai saat ini sebagian besar guru masih menggunakan pembelajaran biasa atau langsung yang masih berfokus pada guru, kurang memacu aktivitas siswa. Selain itu, selama ini pembelajaran matematika yang diberikan guru belum mengembangkan kreativitas siswa. Munandar (1997: 3) menyatakan bahwa perhatian sekolah terhadap potensi belajar siswa masih terbatas kepada aspek berpikir konvergen dan masih kurang memperhatikan proses berpikir kreatif dalam pembelajarannya. Padahal menurut Silver (1997: 2), matematika sebagai domain intelektual berada pada peringkat atas dari domain intelektual apapun, yang digolongkan sesuai dengan tingkat di mana kreativitas jelas terlihat dalam disiplin yang berkaitan dengan aktivitas matematika. Matematika adalah aktivitas (doing mathematics). Aktivitas bermatematika tidak hanya berfokus pada jawaban akhir yang dicari, namun pada prosesnya yang antara lain meliputi pola dan hubungan, pengujian konjektur, dan estimasi hasil. Dalam beraktivitas, siswa dituntut untuk mengadaptasi pengetahuan yang sudah dimiliki dan menggunakannya untuk pengembangan pemahaman baru. Proses pengembangan pengetahuan baru tersebut tidak hanya dapat dikembangkan dalam matematika sendiri, namun dapat melalui penyelesaian masalah dalam kehidupannya sehari-hari.
            Mengingat pentingnya aktivitas dan kreativitas siswa tersebut, maka di sekolah perlu disusun suatu strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan dan meningkatkan aktifitas dan kreativitas siswa . Strategi tersebut diantaranya meliputi pemilihan pendekatan, metode atau model pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang saat ini sedang berkembang ialah pembelajaran berbasis masalah (PBM). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal pembelajaran (Ratnaningsih, 2003). Masalah yang disajikan pada siswa merupakan masalah kehidupan sehari-hari (kontekstual). Pembelajaran berbasis masalah ini dirancang dengan tujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman-pengalaman nyata (Ratnaningsih, 2003). Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar, artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kreatif. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada dilingkungannya.
            Dalam ruang lingkup pembelajaran berbasis masalah, siswa berperan sebagai seorang profesional dalam menghadapi permasalahan yang muncul, meskipun dengan sudut pandang yang tidak jelas dan informasi yang minimal, siswa tetap dituntut untuk menentukan solusi terbaik yang mungkin ada. Pembelajaran berbasis masalah membuat perubahan dalam proses pembelajaran khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran. Melihat dari karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), nampaknya bahwa pendekatan PBM ini mengandung elemen-elemen yang diperkirakan dapat membuat siswa aktif dan dapat mengembangkan kemampuan berfikir kreatif siswa dalam matematika. Karakteristik PBM tersebut menurut Tatang Herman ( dalam Delise, 1977: Greenwald, 2000; dan Pross, 2002) adalah : 1) memposisikan siswa self directed problem solver melalui kegiatan kooperatif dalam pemecahan masalah. 2) mendorong siswa untuk mampu menemukan masalah dan mengelaborasinya dengan mengajukan dugaan-dugaan dan merencanakan penyelesaian. 3) memfasilitasi siswa untuk mengeksplor berbagai alternative penyelesaian dan implikasinya, serta mengumpulkan dan mendistribusikan informasi . 4) melatih siswa untuk terampil menyajikan temuan 5) membiasakan siswa untuk melakukan evaluasi diri dan refleksi tentang efektifitas cara berfikir mereka dalam menyelesaikan masalah.

B.  Berpikir Kreatif

Berbagai definisi yang digunakan untuk membatasi maksud yang terkandung dalam pengertian yang berkaitan dengan istilah kreativitas atau cara berpikir kreatif. Namun demikian, sebagian pakar sepakat dengan definisi kreativitas yang telah dirumuskan oleh para pendahulu mereka. Hal ini diperlihatkan oleh Frome (Al-Khalili, 2005) yang membagi kreativitas ke dalam dua makna. Dari dua makna tersebut Al-Khalili (2005) menyimpulkan bahwa pertama, kreativitas tidak diharuskan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, dan kedua, kreativitas menghasilkan sesuatu yang baru yang diketahui eksistensinya oleh orang lain. Senada dengan makna ke-2 dari Frome, Hassoubah (2004) mengartikan kreativitas adalah usaha mewujudkan atau menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.
Istilah kreativitas terkadang tidak dibedakan dengan istilah berpikir kreatif (Mulyadi, 2004). Sementara Munandar (2004) menyatakan bahwa berpikir kreatif disebut juga berpikir divergen atau kebalikan dari berpikir konvergen. Lebih lanjut, Munandar (2004) menjelaskan bahwa berpikir divergen yaitu berpikir untuk memberikan macam-macam kemungkinan jawaban benar ataupun cara terhadap suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Sedangkan, berpikir konvergen menurut Munandar (2004), yaitu berpikir untuk memberikan satu jawaban terhadap suatu masalah  berdasarkan informasi yang diberikan.
Menurut Williams (Munandar, 2004) bahwa kemampuan yang berkaitan dengan berpikir kreatif ini ada delapan kemampuan, empat dari ranah kognitif dan empat dari ranah afektif. Berikut ini empat kemampuan dari ranah kognitif disebutkan secara lengkap oleh Williams (Munandar, 2004, h. 192).
1.     Berpikir lancar
a.  Menghasilkan banyak gagasan atau jawaban yang relevan.
b.  Arus pemikiran lancar
2.     Berpikir luwes (fleksibel)
a.  Menghasilkan gagasan-gagasan yang bervariasi.
b.  Mampu mengubah cara atau pendekatan.
c.  Arah pemikiran yang berbeda-beda.
3.     Orisinal.  Memberikan jawaban yang tidak lazim, yang lain dari yang lain, yang jarang diberikan kebanyakan orang.
4.     Terperinci (elaborasi)
a.  Mengembangkan, menambah, memperkaya suatu gagasan.
b.  Memperinci dengan detail.
c.  Memperluas suatu gagasan.
Adapun empat kemampuan dari ranah afektif menurut Williams (Munandar, 2004,  h. 192) secara rinci disebutkan sebagai berikut.
1.      Mengambil resiko
a.  Tidak takut gagal atau kritik.
b.  Berani membuat dugaan.
c.  Mempertahankan pendapat.
2.      Merasakan tantangan
a.  Mencari banyak kemungkinan.
b.  Melihat kekurangan-kekurangan  dan bagaimana seharusnya.
c.  Melibatkan diri dalam masalah-masalah atau gagasan yang sulit.
3.      Rasa ingin tahu
a.  Mempertanyakan sesuatu.
b.  Bermain dengan suatu gagasan.
c.  Tertarik pada kegaiban (misteri).
d.  Terbuka terhadap situasi yang merupakan teka-teki.
e.  Senang menjajaki hal-hal baru.
4.      Imajinasi/firasat
a.  Mampu membayangkan, membuat gambaran mental.
b.  Memimpikan hal yang belum pernah terjadi.
c.  Menjajaki hal-hal diluar kenyataan indrawi.
Johnson (2006, h. 215) menyatakann bahwa untuk dapat berpikir kreatif, tentunya membutuhkan ketekunan, disiplin diri, meliputi aktivitas mental sebagai berikut:
1.      mengajukan pertanyaan;
2.      mempertimbangkan informasi baru dan ide yang tak lazim dengan pikiran terbuka;
3.      membangun keterkaitan, khususnya di antara hal-hal yang berbeda;
4.      menghubung-hubungkan berbagai hal yang bebas;
5.      menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda;
6.      mendengarkan intuisi.
            Silver (1997) menjelaskan cara menilai kreativitas dengan menunjukkan hubungan kreativitas dengan pengajuan masalah dan pemecahan masalah. Kreativitas tidak hanya berada pada pengajuan masalah sendiri tetapi juga pada saling pengaruh antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah.
Kedua proses dan produk kegiatan itu dapat dievaluasi untuk menentukan sebuah tingkat dimana kreativitas merupakan sifat yang jelas. Silver menjelaskan bahwa untuk menilai berpikir kreatif anak anak dan orang dewasa sering digunakan “The Torance Tests of Creative Thinking (TTCT)”. Tiga komponen kunci yang dinilai dalam kreativitas menggunakan TTCT adalah kefasihan (fluency),fleksibilitas dan kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespon sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan-perubahan pendekatan ketika merespon perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespon perintah. Gagasan ketiga aspek berpikir kreatif tersebut diadaptasi oleh beberapa ahli dalam matematika. Balka dalam Silver (1997) meminta subjek untuk mengajukan masalah matematika yang dapat dipecahkan berdasar informasi-informasi yang disediakan dari suatu kumpulan cerita tentang situasi dunia nyata. Kefasihan mengacu pada banyaknya masalah yang diajukan, fleksibilitas mengacu pada banyaknya kategori-kategori berbeda dari masalah yang dibuat dan keaslian melihat bagaimana keluarbiasaan (berbeda dari kebiasaan) sebuah respon dalam sekumpulan semua respon. Getzel & Jackson dalam Silver (1997) juga mengembangkan suatu tes untuk menilai kefasihan dan keaslian dari pemecahan masalah yang mempunyai jawaban beragam atau cara/pendekatan yang bermacam macam. Dengan demikian kegiatan pengajuan dan pemecahan masalah yang meninjau kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan  dapat digunakan sebagai sarana untuk menilai kreativitas sebagai produk berpikir kreatif individu.
            Silver (1997:76) menjelaskan komponen berpikir kreatif dalam pemecahan
masalah pada tabel berikut .
Tabel  1.  Komponen Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah
Pemecahan Masalah
Komponen Berpikir Kreatif
Siswa menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam solusi dan jawaban.
Kefasihan (fluency)

Siswa menyelesaikan (menyatakan) dalam satu cara kemudian penyelesaian dalam cara lain
Siswa mendiskusikan berbagai metode
Fleksibilitas (flexibility)

Siswa memeriksa jawaban dengan berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat metode yang baru yang berbeda.
Kebaruan (novelty)

            Kemampuan berpikir kreatif dapat diukur dengan fleksibilitas, kebaruan, dan kefasihan. Fleksibilitas yaitu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Kebaruan yaitu kemampuan siswa dalam membuat berbagai jawaban yang berbeda dan benar dalam memecahkan masalah. Jawaban yang berbeda yaitu jawaban-jawaban yang diperoleh tidak sama dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Kefasihan yaitu kemampuan siswa dalam membuat jawaban yang beragam dan benar dalam memecahkan masalah. Jawaban yang beragam yaitu jawaban yang diperoleh tidak sama dan membentuk pola tertentu. Contoh “Tentukan dua bilangan yang jumlahnya 5”. Jika jawaban siswa berpola 1+4, 2+3, 3+2, 4+1, dan seterusnya, maka jawaban tersebut memenuhi kefasihan tetapi tidak memenuhi kebaruan. Jika jawaban siswa ½+4 ½, 8 +(-3), 0,25 + 4,25, dan seterusnya, maka jawaban tersebut tidak berpola dan memenuhi kebaruan sekaligus kefasihan.
C. Aktivitas Pembelajaran Matematika
            Pendidikan modern lebih menitikberatkan pada aktivitas sejati, dimana siswa belajar sambil bekerja. Dengan bekerja, siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan serta perilaku lainnya termasuk sikap dan nilai. Sehubungan dengan hal tersebut, sistem pembelajaran dewasa ini sangat menekankan pada pendayagunaan aktivitas (keaktifan) dalam proses belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
            Aktivitas belajar Matematika merupakan segenap rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan Matematika atau kemahiran yang sifatnya permanen. Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Karena siswa akan menjalani suatu proses yang akan membangun pengetahuannya dengan bantuan fasilitas dari guru serta meningkatkan kemampuan berpikir sebagai hasil belajar, mereka harus berperan aktif dalam kegiatan belajar, atau dengan kata lain keterlibatannya dalam proses  belajar haruslah nampak. Beberapa aktivitas strategi yang ditempuh siswa untuk mencapai keberhasilan  dalam belajar, dengan tujuan utama adalah kemampuan berpikir kreatif. Keterlibatan siswa dalam proses belajar ini antara lain adalah:1)menggali informasi yang dibutuhkan; 2)mengajukan dugaan; 3) melakukan inkuiri; 4)membuat konjektur;5)mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan


D. Pembelajaran Berbasis Masalah
Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru harus memilih berbagai pendekatan yang cocok dengan karekteristik siswa, materi dan tujuan yang ingin dicapai. Sesuai dengan pandangan kontsruktivisme, yang pada hakekatnya menuntut siswa belajar secara aktif, maka pemilihan model pembelajaran harus menjadi perhatian. Salah satu model pembelajaran yang hakekatnya mempunyai karakteristik yang interaktif adalah model pembelajaran berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan, siswa bekerja sama dalam suatu kelompok untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, kemudian siswa mendiskusikan strategi yang mereka lakukan untuk membangun pengetahuannya. Sejalan dengan dinyatakan oleh Grabowski, Kim dan Koszalka (2004: 170) bahwa PBL [Problem-based Learning] is a teaching methodology for posing realistic and interesting problem situations to learners. Yang menyatakan pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menyajikan situasi masalah yang menarik dan realistis kepada siswa.
  Pembelajaran berbasis masalah memiliki karakteristik berikut (Barrows, 1996, 1992; Hmelo & Evensen, 2000; Savery & Duffy, 1995; Schwartz, Brophy, Lin, & Bransford, 1999):
1.      Real-world problems are used to set the learning context and act as a motivational driver for learners. These problems are used to help focus learners and stimulate them to get involved in the learning activity. The problems can be taken from actual or simulated scenarios.
2.      Students set their own learning goals by questioning what they know and do not know about the problem scenario and then play how to gather and learn the information relevant to solving the problem.
3.      Multiple resources are provided for students to explore. These may include media, print, electronic, or human resources. With access to rich and varied resources, students can develop a deep understanding of content related to the problem.
4.      Student actively engage in problem solving through experimentation, data collection, reflection, collaboration, and communication with teachers, peers, and others who are key to investigating the problem. By being engaged in this way, students share their different perspectives and exhibit skills in reflective thinking, collaboration, and communication, which are essential for effective problem solving.
5.      The teacher’s role is that of a facilitator, to support the learning process and problem-solving activities rather than to directly teach what learners should know and how they should solve problems. However, we believe that, like a facilitator, the teacher’s actions and visibility change based on the learning phase and the needs of the students, from conducting, creating a rich learning environment, coaching, to critiquing.
Masing-masing karakteristik dari pembelajaran berbasis masalah mengandung arti berikut: 1) Penyajian masalah yang aktual digunakan sebagai jalan untuk memotivasi siswa, sehingga dapat membantu siswa belajar aktif; 2) Siswa membentuk pengetahuannya melalui pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang diketahui maupun yang tidak diketahui, kemudian mengumpulkan dan mempelajari sendiri informasi yang berhubungan untuk menjawabnya; 3) Beragam sumber belajar sebaiknya dimiliki siswa sehingga dapat mengembangkan pemahamannya lebih mendalam untuk mencari sumber informasi yang berhubungan dengan penyelesaian masalah ; 4) Siswa aktif dalam problem solving melalui coba-coba, pengumpulan data, melakukan refleksi, bekerjasama, serta berkomunikasi baik dengan guru, teman sebaya, atau siapapun yang dapat membantu mengenali masalah; 5) Peran guru sebagai fasilitator (membimbing, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif) untuk menunjang terjadinya proses belajar dan kegiatan problem solving tetapi tidak dengan mengajarkan secara langsung kepada siswa apa yang harus siswa ketahui dan bagaimana menyelesaikan masalah.
Masing-masing karakteristik di atas mengandung makna bahwa penyajian pertanyaan atau masalah merupakan hal penting baik secara sosial maupun secara pribadi untuk siswa, karena masalah yang diajukan merupakan situasi dunia nyata yang aktual sehingga memungkinkan adanya berbagai macam solusi, hal ini akan memotivasi siswa untuk belajar aktif. Dengan demikian siswa membentuk pengetahuannya melalui pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang diketahui maupun yang tidak diketahui, kemudian mengumpulkan dan mempelajari sendiri informasi yang berhubungan untuk menyelesaikan masalah.
Karakteristik berikutnya yaitu adanya beragam sumber belajar yang dimiliki siswa sehingga siswa aktif dalam problem solving melalui coba-coba, pengumpulan data, melakukan refleksi, bekerjasama, serta berkomunikasi baik dengan guru, siswa lain, atau siapapun  yang dapat membantu mengenali  masalah.  Dengan  demikian  peran guru sebagai fasilitator yang membimbing siswa, dengan menciptakan lingkungan yang dapat menunjang siswa sebagai problem solver yang efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda memberikan komentar